Batik Cirebon
- Masyarakat di Tanah Air boleh bangga karena batik sudah menjadi
busana sehari-hari. Tetapi, tahukah Anda, di balik romatisme kain yang
kaya dengan motif, warna, maupun filosofi, serta dikagumi hingga
mancanegara ini, para perajin batik masih terseok-seok?
Bahkan,
untuk membuat sehelai kain yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya
ini, mereka harus berjuang keras untuk mendapatkan bahan dari serat alam
dan upah yang rendah. Jadin C Djamaluding, craft textiles kain
tradisional, mengatakan batik tidak sepenuhnya milik bangsa Indonesia.
“Kita kaya serat, tapi kapas untuk membuat kain yang dibutuhkan perajin
batik 98 persen impor. Jadi sebenarnya ini barang impor,” ujar dia
dalam bincang-bincang pembentukan Forum Desainer Etnik Indonesia di EMAX
Cafe, Pasaraya Blok M, Jakarta, Minggu lalu.
Menurut
dia, kapas tersebut diimpor dari Amerika Serikat, Australia, Tiongkok,
dan sejumlah negara lainnya “Kapasnya diimpor, bandarnya ada di
Malaysia, itulah gebleknya kita. Jadi harus membeli lewat Malaysia,”
ujar perajin yang telah mengembangkan sejumlah kain tradisional batik,
tenun, maupun tenun ikat sejak 1970-an ini. Kata Jadin, serat alam
penting untuk selanjutnya diolah menjadi bahan untuk membuat batik.
Sebab,
kalau tidak menggunakan serat alam, malam atau lilin yang digunakan
untuk membatik tidak dapat menyerap ke dalam kain. “Sedangkan batik
tidak bisa dibuat di atas kain yang berasal dari serat plastik. Kalau
polyester nggak bisa dibatik,” ujar dia.
Batik Cirebon
- Padahal, serat alam bukan bahan yang langka di negeri dengan ribuan
pulau ini, mulai kapas, rami, maupun nanas. Sayangnya, ketersediaan
serat alam ini kurang memadai sehingga harus dipenuhi melalui impor.
Ulat sutra yang menjadi bahan serat alam banyak dijumpai di Yogyakarta
maupun Sulawesi Selatan, namun harganya mahal. Sebagai perajin yang
bergerak mulai hulu ke hilir, Jadin berupaya memenuhi kesediaan serat
alam dari limbah ulat sutra yang berupa kokon.
Ini
dilakukan agar mereka memperoleh kain dengan harga lebih murah tanpa
harus impor. Selain minimnya bahan, para perajin masih dihadapkan dengan
tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah. “Perajin tetap miskin,
yang kaya pedagang,” ujar dia.
Dia
mencontohkan buruh canting yang hanya berpenghasilan kurang dari satu
juta rupiah per bulan. “Maka tidak heran, pernah ada eksodus buruh ke
Tiongkok dan India karena mereka kabarnya dibayar 7,5 juta rupiah per
bulan,” ujar dia.
Batik Cirebon
- Meski menghadapi sejumlah masalah, perajin yang tempat work shopnya
luluh lantak akibat gempa Yogya 2006 lalu ini berupaya agar terus
lestari dan tidak menipu pembeli dengan batik palsu.
Dia
menyiasatinya dengan membuat batik melalui screen printing atau teknik
yang sering digunakan untuk penyablonan kaus. Teknik pembuatan batik
yang digunakan sejumlah negara, di antaranya Jepang, ini dapat
menghasilkan kain batik 12 sampai 15 meter.
Screen
printing menggunakan malam atau lilin dingin lalu direbus untuk
menghasilkan motif batik sehingga batik dapat dipasarkan dengan harga
terjangkau. Sebagai contoh, selembar syal ditawarkan dengan harga 60
ribu sampai 80 ribu rupiah.
“Memang
tidak gampang mengajari perajin, mereka bisa karena biasa. Kita harus
memberikan contoh. Jika laris, mereka akan ikut,” ujar dia. Untuk
meningkatkan kesejahteraan perajin, Jadin yang mengekspor hasil karyanya
ke Amerika dan Jepang ini menyarankan agar mereka mengembangkan diri
dan membekali dengan jiwa wirausaha.
Selain itu, pemerintah harus membedakan jenjang buruh dan memberikan sertifikasi untuk peningkatan kinerja mereka.( Batik Cirebon )
0 komentar:
Posting Komentar