Banner

Selasa, 30 Desember 2014

Batik Cirebon - Pejabat Kurang Peduli Dengan Batik Sendiri

Batik Cirebon
Pengrajin Batik
Batik Cirebon - Perajin batik tulis asli Sidoarjo dari tahun ke tahun banyak gulung tikar. Dari 38 perajin yang masih eksis tersebar di Sidoarjo sekarang tinggal 11 perajin. Sementara yang lainnya kembang kempis akibat kurangnya perhatian pemerintah setempat terhadap pemakian produk lokal yang sudah menasional.

Kekurangpercayaan terhadap produk lokal (batik Sidoarjo) bisa dilihat dari PNS yang bekerja di lingkungan Pemkab Sidoarjo baik guru, staf, dan lainnya. Mereka rata-rata memakai produk batik dari luar Sidoarjo yang disuplai oleh orang lain. Padahal batik Sidoarjo kualitasnya tidak kalah dengan daerah lain dan Sidoarjo sendiri sebenarnya mampu membikin batik untuk seragam PNS yang biasa dipakai Hari Rabu, Kamis, dan Jumat serta Sabtu untuk para guru.

“Semua itu tergantung dari pejabatnya. Seandainya batik lokal harus dipakai oleh PNS, justru menghidupkan perajin kecil. Ayo sudah berapa uang yang keluar dari Sidoarjo atau tidak dinikmati perajin batik Sidoarjo,” tutur Ketua Paguyuban Batik Sidoarjo Ir H Nurul Huda saat ditemui di gerainya di Perumahan Sidokare Asri AW 18, Sepande, Sidoarjo.

Batik Cirebon - Nurul Huda kemudian berangan-angan, jumlah PNS di lingkungan Pemkab Sidoarjo baik itu staf dan guru jumlahnya sekitar 14.000 orang. Masing-masing orang (PNS) memiliki dua atau tiga batik untuk dipakai bekerja. “Apakah uang itu tidak cukup untuk perputaran dari perajin kecil. Kalau ada peran pemerintah saya yakin perajin batik tetap eksis,” ungkapnya.

Daerah Jetis yang diberi nama Kampung Batik hanya tinggal kenangan atau life servis saja. Meski disitu banyak perajin batik, tetapi untuk pendistribusian atau pemasarannya tidak dibantu oleh pemerintah. Sekarang ini yang dilakukan oleh perajin batik kebanyakan mendatangkan batik dan menjualnya secara langsung. Hal itu dilakukan karena mereka mengejar omzet.

“Jangan sampai orang luar daerah datang ke Sidoarjo yang semula ingin membeli batik khas Sidoarjo untuk cindera mata keliru dengan batik daerah lain. Meski cindera mata itu nilainya kecil tapi kalau keliru bagaimana,” ujarnya dengan nada tanya.

Kondisi sekarang ini, perajin kecil banyak yang sambat kepada Nurul Huda selaku Ketua Pabis, karena sehari bekerja tiga hari harus istirahat. Semua itu karena kurangnya promosi dari pemerintah untuk melestarikan budaya yang harus tetap dijaga. Tetapi justru ada pejabat yang kurang peduli dengan produknya sendiri.

“Seharusnya pemerintah mengayomi dan memberi ruang promosi untuk mengangkat dan melestarikan batik yang sudah kondang itu. Bukan mencemoohnya,” paparnya.

Celotehan pedas pejabat itu diketahui Nurul Huda saat ada perkumpulan antar pejabat. Katanya batik Sidoarjo luntur. Hal itu langsung disanggah Nurul Huda karena batik Sidoarjo tidak pernah ada yang luntur karena ditulis dengan tangan. “Memang waktu itu saya suruh menunjukkan itu batiknya siapa dan saya ingin tahu. Tapi tidak ditunjukkan. Saya khawatir kalau batik itu dari luar Sidoarjo dan komplainnya ke Sidoarjo,” tandasnya.

Batik Cirebon - Produk batik Nurul yang diberi nama AL Huda bukan hanya terkenal di Sidoarjo saja. Tetapi di Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Jateng, Jabar, Ameriksa Serikat, Singapura dan negara lain sudah terkenal. Orderan kebanyakan lewat telepon dan tinggal pemaketan saja. Tak sedikit masyarakat dari Sidoarjo, Gresik, Surabaya, Malang, Pasuruan dan Banyuwangi datang ke workshopnya untuk membeli batik asli Sidoarjo.

“Sampai-sampai saya waktu Lebaran tidak bisa keluar rumah karena pembeli terus berdatangan,” ungkapnya.

Workshop yang ada di rumahnya desain Nurul Huda secara tradisional bukan seperti butik pada umumnya. Namun workshop yang ada justru terlihat biasa seperti ditaruh rak dan dikastok. “Batik kan identik tradisional sehingga kondisinya harus tradisional,” paparnya.

Batik Sidoarjo ada kelasnya sendiri. Mulai nilai Rp 150.000 sampai Rp 5 juta/potong. Untuk ukuran premium Rp 150.000/potong batiknya biasa tidak terlalu halus dan pengerjaannya cukup cepat antara 2-5 hari. Sedangkan untuk kelas eksekutif yang dibanderol Rp 5 juta perpotong pengerjaannya harus halus dan hati-hati.
“Pengerjaanya bisa memakan waktu sampai 3 bulan dan kebanyakan orang yang mengerjakan adalah orang tua karena butuh ketelatenan,” ungkap Nurul yang juga dosen di Unmer Surabaya.

Nurul sendiri pernah mencatatkan namanya di Rekor Dunia, 19 Mei 2009. Ia membikin baju batik tulis Sidoarjo dengan ukuran panjang badan 22,5 meter dengan pundak 15,30 meter.

“Bentuknya berupa baju dan sekarang masih tersimpan. Makanya batik tulis Sidoarjo sudah diakui dunia tapi pemerintah sendiri kurang mempromosikan. Kan eman-eman,” tutur Nurul yang menggeluti batik sejak SMA tahun 1982.( Batik Cirebon )

0 komentar:

Posting Komentar