Banner

Kamis, 25 Desember 2014

Batik Cirebon - Ironi di Balik Sehelai Batik

Batik Cirebon - Masyarakat di Tanah Air boleh bangga karena batik sudah menjadi busana sehari-hari. Tetapi, tahukah Anda, di balik romatisme kain yang kaya dengan motif, warna, maupun filosofi, serta dikagumi hingga mancanegara ini, para perajin batik masih terseok-seok?

Bahkan, untuk membuat sehelai kain yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya ini, mereka harus berjuang keras untuk mendapatkan bahan dari serat alam dan upah yang rendah. Jadin C Djamaluding, craft textiles kain tradisional, mengatakan batik tidak sepenuhnya milik bangsa Indonesia. “Kita kaya serat,  tapi kapas untuk membuat kain yang dibutuhkan perajin batik 98 persen impor. Jadi sebenarnya ini barang impor,” ujar dia dalam bincang-bincang pembentukan Forum Desainer Etnik Indonesia di EMAX Cafe, Pasaraya Blok M, Jakarta, Minggu lalu.

Menurut dia, kapas tersebut diimpor dari Amerika Serikat, Australia, Tiongkok, dan sejumlah negara lainnya “Kapasnya diimpor, bandarnya ada di Malaysia, itulah gebleknya kita. Jadi harus membeli lewat Malaysia,” ujar perajin yang telah mengembangkan sejumlah kain tradisional batik, tenun, maupun tenun ikat sejak 1970-an ini. Kata Jadin, serat alam penting untuk selanjutnya diolah menjadi bahan untuk membuat batik.

Sebab, kalau tidak menggunakan serat alam, malam atau lilin yang digunakan untuk membatik tidak dapat menyerap ke dalam kain. “Sedangkan batik tidak bisa dibuat di atas kain yang berasal dari serat plastik. Kalau polyester nggak bisa dibatik,” ujar dia.

Batik Cirebon - Padahal, serat alam bukan bahan yang langka di negeri dengan ribuan pulau ini, mulai kapas, rami, maupun nanas. Sayangnya, ketersediaan serat alam ini kurang memadai sehingga harus dipenuhi melalui impor. Ulat sutra yang menjadi bahan serat alam banyak dijumpai di Yogyakarta maupun Sulawesi Selatan,  namun harganya mahal. Sebagai perajin yang bergerak mulai hulu ke hilir, Jadin berupaya memenuhi kesediaan serat alam dari limbah ulat sutra yang berupa kokon.

Ini dilakukan agar mereka memperoleh kain dengan harga lebih murah tanpa harus impor. Selain minimnya bahan, para perajin masih dihadapkan dengan tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah. “Perajin tetap miskin, yang kaya pedagang,” ujar dia.

Dia mencontohkan buruh canting yang hanya berpenghasilan kurang dari satu juta rupiah per bulan. “Maka tidak heran, pernah ada eksodus buruh ke Tiongkok dan India karena mereka kabarnya dibayar 7,5 juta rupiah per bulan,” ujar dia.

Batik Cirebon - Meski menghadapi sejumlah masalah, perajin yang tempat work shopnya luluh lantak akibat gempa Yogya 2006 lalu ini berupaya agar terus lestari dan tidak menipu pembeli dengan batik palsu.

Dia menyiasatinya dengan membuat batik melalui screen printing atau teknik yang sering digunakan untuk penyablonan kaus. Teknik pembuatan batik yang digunakan sejumlah negara, di antaranya Jepang, ini dapat menghasilkan kain batik 12 sampai 15 meter.

Screen printing menggunakan malam atau lilin dingin lalu direbus untuk menghasilkan motif batik sehingga batik dapat dipasarkan dengan harga terjangkau. Sebagai contoh, selembar syal ditawarkan dengan harga 60 ribu sampai 80 ribu rupiah.

“Memang tidak gampang mengajari perajin, mereka bisa karena biasa. Kita harus memberikan contoh. Jika laris, mereka akan ikut,” ujar dia. Untuk meningkatkan kesejahteraan perajin, Jadin yang mengekspor hasil karyanya ke Amerika dan Jepang ini menyarankan agar mereka mengembangkan diri dan membekali dengan jiwa wirausaha.

Selain itu, pemerintah harus membedakan jenjang buruh dan memberikan sertifikasi untuk peningkatan kinerja mereka.( Batik Cirebon )

0 komentar:

Posting Komentar